WARIA DARI SEGI SOSIAL
Kaum waria merupakan salah satu penyandang masalah kesejahteraan sosial di Indonesia, baik di tinjau dari segi psikologis, sosial, norma, maupun secara fisik. Kehidupan mereka cenderung hidup bergelamor dan eksklusif atau membatasi diri pada komunitasnya saja. Mereka sering terjerumus pada dunia pelacuran dan hal-hal lain yang menurut agama, aturan, dan nilai masyarakat menyimpang. Secara fisik memang menggambarkan mereka adalah laki-laki tetapi sifat dan perilaku menggambarkan wanita.
Permasalahan sosial yang dihadapi kaum waria di Indonesia termasuk sangat rumit dan kompleks karena berbagai faktor yang kurang mendukung dalam menjalani kehidupannya secara wajar baik yang diakibatkan oleh faktor intern sendiri seperti hidup menyendiri/hanya terbatas pada komunitasnya juga karena faktor ekstern seperti pendidikan terbatas, kemiskinan, ketidaktrampilan, diskriminasi baik dikalangan masyarakat umum maupun oleh keluarganya sendiri. Dengan kondisi dan situasi yang dihadapi oleh kaum waria tersebut membuat mereka cenderung terjerumus pada hal-hal yang menyimpang seperti jadi pelacur, pengemis, pengangguran dan lainnya. Akibat dari perilakunya tersebut berdampak pada masalah kesehatan/penyakit fisik, dan kehidupan sosial, seperti penyakit kelamin, kulit, HIV/AIDS, narkoba dan penyakit menular lainnya. Sedangkan secara sosial mereka terkucikan/didiskriminasi dari masyarakat maupun keluarganya sendiri, mengganggu ketertiban umum, pemalas dan lain-lainnya.
Kalau kondisi tersebut tidak mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah bersama masyarakat maka dampak akibatnya akan semakin besar dan berbahaya bagi kelangsungan hidup bangsa kita baik untuk kaum warianya sendiri maupun masyarakat dan keluarganya. Departemen Sosial sebagai instansi yang menangani permasalahan tersebut telah berupaya untuk mengatasinya secara maksimal. Namun untuk lebih memaksimalkan penanganan bagi kaum waria, maka salah satu solusi yang dianggap penting umtuk segera dilakukan adalah perlunya suatu buku pedoman/acuan dalam memberikan pelayanan dan perlindungan bagi waria. Dengan harapan melalui pedoman tersebut pihak pemda dan instansi terkait, maupun masyarakat dapat melakukan pelayanan dan perlindungan sosial bagi kaum waria.
Waria sebagai bagian dari masyarakat Indonesia dalam konteks keberagaman, pada satu sisi hendaknya dapat ditempatkan sebagai sebuah kenyataan sosial yang tidak terelakan keberadaannya. Pada sisi lain keberadaan Waria bagi sebagian masyarakat Indonesia masih dipandang sebagai bentuk penyimpangan perilaku (deviant behavior) menurut kacamata masyarakat yang menggunakan ukuran normal dan tidak normal serta lazim dan tidak lazim dan ukuran-ukuran sejenis lainnya.
Kedua pandangan dan kondisi masyarakat dalam mensikapi keberadaan waria idealnya tidak selalu dihadapkan secara berhadapan (diametral) yang dikhawatirkan dapat menimbulkan dampak yang kurang mendukung bagi persatuan bangsa, dan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Pembangunan manusia seutuhnya salah satunya dipahami sebagai upaya untuk menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia Indonesia itu sendiri termasuk di dalamnya para Waria. Dalam situasi dan kondisi seperti ini, kedewasaan sebagai bangsa akan teruji dalam mensikapi keberadaan Waria.
Idealnya, memahami Waria hendaknya dipahami secara utuh (holistik), baik sebagai individu maupun anggota masyarakat yang memiliki kelebihan dan berbagai kekurangan. Waria sebagai individu maupun bagian dari masyarakat, didalamnya terdapat potensi-potensi yang memungkinkan dikembangkan kearah yang lebih membangun atau konstruktif bagi upaya untuk memberdayakan Waria dalam pembangunan bangsa. Disamping itu, pada sebagian waria juga terdapat keterbatasan-keterbatasan yang biasanya berdampak pada ketidak keberfungsian
sosialnya, misalnya gangguan dalam beradaptasi dengan lingkunganya, mempertahankan hidup dengan cara yang menyimpang seperti melacurkan diri, mengamen dan menggelandang di jalanan dan sebagainya. Kondisi ini berdampak pada keteraturan sosial dan tatanan sosial masyarakat .
Oleh karena itu, upaya untuk memberdayakan Waria menjadi sebuah tuntutan baik dalam kerangka pembangunan harkat dan martabat mereka maupun dalam upaya perlindungan sosial kepada Waria sebagai bagian dari kelompok minoritas agar tidak terpinggirkan (marginalkan) serta mendapat perlakuan-perlakuan diskriminatif. Sebagai bagian dari bangsa Indonesia, Waria juga memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagaimana warga negara lainnya. Memberdayakan Waria dipahami sebagai upaya meningkatkan potensi yang dimiliki serta meminimalisir kelemahan yang ada pada dirinya. Pada saat yang sama juga dibutuhkan upaya yang sistematis untuk merancang ulang (rekonstruksi) pandangan masyarakat melalui upaya membangun citra (image building) secara positif tentang keberadaan Waria.
Untuk merealisasikan upaya tersebut diatas dibutuhkan dukungan dari berbagai pihak baik dari kalangan pemerintah, masyarakat maupun para Waria itu sendiri. Dukungan dimaksud dipandang sebagai unsur potensial dalam memberdayakan Waria maupun masyarakat pada umumnya.
Waria adalah Individu berciri fisik kelamin pria, tetapi cenderung menampilkan diri sebagai perempuan, baik dalam penampilan maupun perilaku. Ada diantara mereka yang masih mempertahankan ciri fisik laki-laki dan ada pula yang berusaha untuk menghilangkan ciri maskulinitasnya. Waria yang dilaksanakan pemerintah, masyarakat dan pihak-pihak lain sesuai dengan pendekatan pekerjaan sosial.
Fakta di lapangan, komunitas waria menghadapi kendala dengan adanya orientasi gender yang diberikan oleh masyarakat saat ini yaitu maskulin bagi laki–laki dan feminin bagi perempuan. Sementara itu fisik waria yang laki–laki dengan orientasi gender yang feminin membuat mereka belum sepenuhnya diterima dalam kehidupan sosial. Hal ini mengakibatkan kehidupan waria lebih terbatas aksesnya.
Merujuk pendapat Mamoto Gultom (Danandjaja, 2003:51), yang mengatakan bahwa kaum waria dan komunitasnya kelompok marjinal di Indonesia. Karena mengganggap waria adalah individu maupun komunitas yang tidak sesuai dengan konstruksi gender yang sudah ada, dimana dari segi fisik, waria mempunyai jenis kelamin laki–laki namun mempersepsikan dirinya sebagai perempuan dengan berpakaian perempuan, walaupun ada diantara mereka yang mempunyai alat kelamin pria sejati dan mereka ada yang mempunyai keturunan. Marjinalisasi atau diskriminasi terhadap waria dan komunitasnya, berdampak pada adanya berbagai reaksi terutama dikalangan waria dan pemerintah. Di kalangan waria, mereka memberikan reaksi secara individu, yaitu sebagian dari mereka menunjukkan eksistensi/ keberadaanya dengan menempuh pendidikan yang tinggi, usaha dibidang ekonomi, maupun aktif dalam organisasi sosial budaya, walaupun diantara mereka banyak juga yang terjun ke dunia prostitusi dan menjadi kelompok resiko tinggi terinfeksi HIV/AIDS, gelandangan, waria pengamen di jalanan, dan lain sebagainya sehingga menjadi Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS). Secara kelompok, mereka juga banyak membentuk berbagai organisasi. Sementara respon dari sisi kebijakan pemerintah, terutama Departemen Sosial memandang waria dan komunitas waria menjadi salah satu sasaran pelayanan sosial, termasuk rehabilitasi sosial. Pelayanan sosial yang diberikan akan membantu dan memfasilitasi waria dan komunitasnya agar mampu mengakses kebidang pendidikan, pekerjaan, kesehatan, maupun dalam proses untuk memulihkan kembali kemampuan adaptasi dalam kehidupan sosialnya. Disisi lain, kebijakan sosial juga diarahkan kepada pandangan bahwa waria dan komunitasnya sebagai potensi untuk mendukung proses pelayanan sosial, terhadap sesamanya, antara lain sebagai peer support terhadap komunitas waria.
Data yang berhasil didapatkan dari beberapa Dinas Sosial/Dinas Kesejahteraan Sosial Populasi Waria di Indonesia berjumlah 11.049 orang. Jumlah populasi waria tersebut haruslah juga dipandang sebagai suatu potensi dalam proses pembangunan disegala lini dan sebagai bagian dari kehidupan sosial. Potensi diri waria bisa dilihat secara individu maupun kelompok. Dilihat dari sisi individu, waria haruslah dipandang sebagai pribadi yang mempunyai semangat hidup, kesadaran sebagai bagian dari masyarakat, mempunyai pengetahuan, kemampuan dan
keterampilan. Seperti potensi individu yang berpendidikan tinggi, sudah ada yang bekerja di sektor formal, mempunyai keahlian sebagai entertainer, menjadi designer, presenter, pengelola event organizer, pekerja sosial, penulis, jurnalis, koreografer, mencalonkan diri sebagai anggota komnas HAM, mencalonkan diri sebagai anggota legislatif, menjadi anggota ormas dan lain–lain. Sedangkan secara kelompok, komunitas waria mempunyai kemampuan yang tidak kalah dari komunitas pada umumnya. Karena mereka dikondisikan oleh situasi penolakan dari keluarga, maupun lingkungan, sehingga sebagai bentuk jawaban atau penolakan tersebut, mereka membentuk kelompok untuk mengekspresikan berbagai kemampuan, ide, gagasan sebagai aktulisasi diri dan kelompok. Beberapa contoh kelompok komunitas waria yang eksis ditingkat nasional diantaranya Yayasan Putri Waria Indonesia yang bergerak dibidang sosial, budaya, kemanusiaan, ekonomi dan politik. Yayasan ini juga akan membentuk cabang diseluruh propinsi di Indonesia. Begitu juga kelompok lainnya yaitu Forum Komunikasi Waria Indonesia. Adapula organisasi atau jejaring yang jangkuan organisasinya bersifat lokal diantaranya IWAMA (Ikatan Waria Malang), dan KKWSS (Kerukunan Keluarga Waria Sulawesi Selatan). Kelompok ini juga membangun jejaring dengan berbagai organisasi, baik yang sejenis maupun bukan (LSM dan instansi pemerintah, mempunyai kelompok-kelompok kesenian, mempunyai kelompok–kelompok diskusi, membantu program pemerintah dalam penanggulangan HIV/AIDS, dan masalah sosial yang lain seperti bencana alam, penanganan anak jalanan, pemberdayaan fakir miskin dan lain–lain).
Sebelum menjelaskan permasalahan yang dihadapi waria, sebaiknya terlebih dahulu mengetahui faktor penyebab seseorang hidup sebagai waria atau yang biasa disebut kelompok transeksual.
Ada tiga faktor penyebab seseorang menjadi waria yaitu :
1. Biogenik
Seseorang menjadi waria disebabkan atau dipengaruhi oleh faktor biologis atau jasmaniah, dimana yang bersangkutan menjadi waria dipengaruhi oleh lebih dominannya hormon seksual perempuan dan merupakan faktor genetik seseorang. Selain itu, neuron yang ada di waria sama dengan neuron yang dimiliki perempuan. Dominannya neuron dan hormon seksual perempuan mempengaruhi pola perilaku seseorang menjadi feminim dan berperilaku perempuan.
2. Psikogenik
Seseorang menjadi waria juga ada yang disebabkan oleh faktor psikologis, dimana pada masa kecilnya, anak laki-laki menghadapi permasalahan psikologis yang tidak menyenangkan baik dengan orang tua, jenis kelamin yang lain, frustasi hetereseksual, adanya iklim keluarga yang tidak harmonis yang mempengaruhi perkembangan psikologis anak maupun keinginan orang tua memiliki anak perempuan namun kenyataannya anaknya adalah seorang laki-laki. Kondisi tersebut, telah menyebabkan perlakuan atau pengalaman psikologis yang tidak menyenangkan dan telah membentuk perilaku laki-laki menjadi feminim bahkan kewanitaan.
3. Sosiogenik
• Keadaan lingkungan sosial yang kurang kondusif akan mendorong adanya penyimpangan perilaku seksual. Berbagai stigma dan pengasingan masyarakat terhadap komunitas waria memposisikan diri waria membentuk atau berkelompok dengan komunitasnya. Kondisi tersebut ikut mendorong para waria untuk bergabung dalam komunitasnya dan semakin matang menjadi seorang waria baik dalam perilaku maupun orientasi sexualnya.
• Dalam beberapa kasus, sulitnya mencari pekerjaan bagi para lelaki tertentu di kota besar menyebabkan mereka mengubah penampilan menjadi waria hanya untuk mencari nafkah dan atau yang lama kelamaan menjadi permanen.
• Pada keluarga tertentu, kesalahan pola asuh yang diterapkan oleh keluarga terhadap anggota keluarganya terutama yang dialami oleh anak laki-lakinya dimasa kecil. Seperti keinginan orang tua memiliki anak perempuan, sehingga ada sikap dan perilaku orang tua yang mempersepsikan anak lelakinya sebagai anak perempuan dengan memberikan pakaian anak perempuan, maupun mendandani anak laki-lakinya layaknya seperti anak perempuan.
Pelayanan waria yang potensial lebih banyak menitik beratkan kepada upaya membangun kesadaran waria dan masyarakat melalui perlindungan dan advokasi sosial, menghilangkan stigna melalui penyuluhan sosial untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat tentang hak asasi waria. Disisi lain waria juga memerlukan konseling untuk memantapkan identitas dirinya sesuai dengan jenis kelamin pilihannya. Bagi waria potensial, mereka dapat mitra Departemen Sosial untuk membina dan menolong sesamanya.
Pelayanan sosial waria berbasis masyarakat menitikberatkan pada peran pekerja sosial serta masyarakat dalam membantu menangani permasalahan dan memenuhi kebutuhan para waria. Pelayanan waria yang potensial lebih banyak menitik beratkan kepada upaya membangun kesadaran waria dan masyarakat melalui perlindungan dan advokasi sosial, menghilangkan stigma melalui penyuluhan sosial masyarakat dan perubahan perilaku waria, menjadikan mereka mitra untuk melakukan penjangkauan serta melatih waria potensial sebagai feer educator, feer konselor dan feer support. Program ini dilakukan secara bersama-sama oleh pemerintah, masyarakat dan waria itu sendiri melalui:
1. Kampanye sosial/penyuluhan sosial
2. Advokasi dan perlindungan sosial/pendampingan
3. Konseling
4. Komunikasi pengubahan perilaku
5. Pelatihan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar